Senin, 11 April 2011

SULAMAN RINDU UNTUK BAGAS


SULAMAN RINDU UNTUK BAGAS

Kisah ini terjadi di bulan Agustus 2005 saat aku duduk di bangku SMA. Aku dan Bagas sangat menyukai Biologi, kami selalu mengeluarkan tawa yang berbegar jika sama-sama mendapatkan nilai tertinggi pada saat ujian Biologi. Dimana ada aku, pasti disana ada Bagas. Persahabatan kami bagaikan kesetiaan yang membekukan mimpi. Kami memang dekat, bahkan terlalu dekat untuk seorang teman, aku menjadikan Bagas sebagai sahabat sekaligus saudara laki-laki.

Beberapa teman di kelasku banyak yang menganggap aku dan Bagas berpacaran, tidak heran jika mereka berkata demikian, kami ini memang tak pernah bisa di pisahkan. Hanya waktu shalat yang memisahkan kami, ketika berkumadang adzan dzuhur, kami segera meluncur ke masjid untuk melaksanakan ibadah shalat. Aku ke bagian akhwat, dan Bagas ke bagian ikhwan.

Persahabatan kami saling mendukung. Aku dan Bagas aktif dalam sejumlah kegiatan ekstrakurikuler di sekolah seperti KIR (Karya Ilmiah Remaja), PMR (Palang Merah Remaja), ROHIS (Rohani Islam), VOGO (Vocal Group), dan Bahasa Jepang. Tak jarang kami selalu bertemu di antara kegiatan-kegiatan itu.
Tanggal 24 Agustus aku dan anggota PMR lainnya mengadakan kegiatan donor darah di sekolah. Kami bekerja sama dengan pihak PMI pusat. Banyak sekali guru-guru dan teman-teman yang mendonorkan darahnya dalam acara ini. Disini aku bertugas sebagai ketua pelaksana kegiatan donor darah, sedangkan Bagas sebagai humasnya. 

Di pertengahan kegiatan, Bagas meminta izin padaku untuk pulang ke rumahnya karena ada urusan mendadak, Ibunya jatuh sakit dan di bawa ke rumah sakit. Akhirnya Bagas pun pulang ke rumahnya dengan menaiki Kawasaki hijaunya.

Sampai acara selesai, Bagas tak kunjung kembali ke sekolah. Ku telpon ke handphone nya tetapi tak ada jawaban. Ku telpon ke rumahnya juga tak ada yang mengangkat. Kepanikan memenuhi kepalaku.
Waktu menunjukkan pukul dua siang, ada Kak Fitra (kakak kandung Bagas) datang ke sekolahku mengabarkan bahwa Bagas mengalami kecelakaan saat menuju ke rumah sakit untuk menengok keadaan ibunya. Dengan hati yang risau aku pun langsung menyusul ke rumah sakit bersama Kak Fitra. Rasa khawatirku membuncah, nafasku beku, kepalaku berat, perasaanku sungguh tak enak.
Sesampainya di rumah sakit, aku dan Kak Fitra langsung menuju UGD untuk melihat keadaan Bagas. Akan tetapi Bagas tidak ada disana, brankar tempat ia berbaring telah kosong. Aku bertanya pada perawat yang berjaga disana, dan perawat itu mengatakan bahwa Bagas telah dibawa ke ruang jenazah.

Astaghfirullahaladziim. Ya Allah, secepat itukah Engkau memanggil sahabatku. Sesampainya di kamar jenazah. Kulihat jasad-jasad kaku terbujur di tempat tidur ditutupi kain berwarna putih. Suara tangisan dari keluarga yang lain seperti seakan membelah bumi. Pas dipojok dinding, kulihat wajah yang tak asing lagi. Wajah yang dulu penuh pengertian padaku. Wajah yang dulu selalu tersenyum kepadaku. Wajah yang dulu penuh semangat padaku. Wajah itu adalah sahabatku Bagas.

Kudatangi perlahan jasadnya. Kupandangi wajahnya. “Ooohhhh…, aku tak sanggup. Hatiku menjerit. Tangisanku meledak. Tetapi kalau saja aku tidak ingat akan kebesaran Tuhan, aku pasti sudah bergabung dengan orang-orang yang meratapi kepergian keluarganya itu.
Aku berusaha tersenyum melihat wajah sahabatku. Kusapa ia dengan salam.kuucapkan do’a untuknya supaya ia mendapatkan ampunan dari Allah SWT dan tempat yang baik bersama dengan orang-orang mu’min lainnya.

Sahabat sekaligus saudaraku telah pergi, aku sadar itu. Aku harus mengikhlaskannya. Aku akan berusaha untuk selalu mengirimkan setangkai Al-Fatihah untuknya sehabis shalat fardu’. Bagas sahabatku, kami akan selalu merindukanmu.
                                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar