Senin, 11 April 2011

Melati

             Aku sangat mencintai putriku. Melati adalah satu – satunya putriku dari pernikahanku dan Siti Sarah. Sejak menikah dengan wanita yang sangat lembut hatinya yaitu Sarah, kami sangat mendambakan seorang malaikat kecil yang dapat mewarnai bahtera rumah tangga kami. Alhamdulillah dengan seizin Allah aku dan isteriku dikaruniai bidadari syurga yang cantik dan kami beri nama Melati.
            Melati pun tumbuh besar dengan keceriaannya yang seringkali membuat kami gemas. Kini usianya sudah 9 tahun. Isteriku Sarah begitu sangat mencintai buah hati kami, begitu pula juga denganku. Tak pernah sedikitpun diantara kami melontarkan kata-kata kasar pada Melati.
            Sepulang bekerja dari Rumah sakit aku langsung pulang kerumah. Rinduku pada Melati menyeruak, ingin sekali memeluk bidadari kecilku ini. Kudengar suara tangis seseorang dari dalam. Kuperiksa kamar utama yang menjadi tempat tidur bersama isteriku Sarah. Tidak ada. Langsung aku menuju ke kamar anak kami satu – satunya, Melati. Benar saja, suara tangis itu berasal dari dalam kamarnya. Suara isak tangisan Melati sepertinya ditahan – tahan supaya tidak terlalu di dengar orang lain. Ternyata  bidadari kecilku sedang menangis di dalam kamar sambil memeluk Teddy bear kesayangannya.
            “Assalamu’alaikum sayang, sedang apa di dalam? Bolehkah ayah masuk?” kataku sambil mengetuk pelan pintu kamarnya.
            Tiba – tiba suara tangisannya menghilang.
            “Sayang bolehkah ayah masuk?” kataku pelan.
            Pintu-pun terbuka dengan Melati, anak semata wayangku, di depanku.
Wajahnya memerah dengan mata sembab dan berkaca-kaca. Rambutnya yang
hitam panjang sebahu tampak awut-awutan. Bajunya yang berwarna kuning dengan bunga – bunga kecil, basah oleh air mata dan keringatnya.
            “Lho kok…,kenapa bidadari Ayah menangis? Biasanya putri Ayah selalu ceria. Ada apa gerangan? Boleh Ayah tahu ada apa sayang?” kataku yang langsung berjongkok di depan Melati sambil memegang bahunya dan menyeka air matanya.
            Belum lagi Melati menjawab pertanyaanku, ia langsung saja menabrakku dengan pelukannya, lalu menangis kembali dan berkata, “Ibu jahat pada Melati.” Ibu jahat!”
            Kenapa Ibu jahat? Masa Ibu jahat sama Melati yang cantik dan baik hati.” kataku sambil mengangkat dan menggendongnya lalu menuju ke tempat tidurnya. Kuletakkan ia di kasur dan aku duduk di sampingnya. Ku elus-elus rambutnya yang halus. Kupancarkan senyuman kepadanya untuk mencoba meredakan tangisannya. Sedkit demi sedikit tangisannya mulai mereda dan akhirnya berhenti. Wajah Melati memancarkan rasa sedih karena barusan ia dimarahi oleh Ibunya, yaitu isteriku. Sebenarnya aku pun agak heran juga, karena tidak biasanya isteriku marah terhadap anak semata wayangnya ini. Biasanya ia sangat lembut dan penuh kasih sayang didalam mengurus Melati.
            “Ayah…Ibu kok jahat sama Melati? Tadi Melati dimarahi sama Ibu. Melati sedih, Ayah. Kenapa Ibu memarahi Melati seperti tadi?” kata Melati sambil mau menangis kembali.
            “Eee…,kok mau nangis lagi… Enggak apa-apa kok, Ibu tidak jahat sama Melati, kenapa memangnya Ibu sampai demikian sama Melati?”
            Buah hatiku terdiam sebentar. “Tadi Melati mendapatkan undangan dari sekolah untuk mengikuti pesantren kilat di SDIT Palembang, tetapi Ibu melarang Melati untuk ikut. Ibu jahat!”
            “Oo…, jadi itu penyebab Melati menangis seperti ini. Melati sayang, dengarkan ya Nak, Ibu tidak jahat padamu, Ibu hanya khawatir jika Melati harus mengikuti pesantren kilat di SDIT Palembang, karena jaraknya yang cukup jauh. Bayangkan saja, rumah kita ini sekarang ada di pulau Jawa ,sedangkan Palembang itu di pulau Sumatera, tak masalah jika Melati sudah besar, akan tetapi sekarang Melati baru 9 tahun dan Ibu serta Ayah tidak dapat mengantarmu kesana karena bekerja. Insya Allah lain waktu Melati dapat mengikuti acara pesantren kilat di tempat lain yang lebih terjangkau ya sayang.” kataku sambil mengelus rambut buah hatiku tersayang.
            Aku pun memeluknya, mencium keningnya sambil berdo’a di dalam hati, “Ya Allah…, ampunilah dosa – dosa kami, ampuni dosa – dosa kedua orang tua kami dan jadikanlah keturunan kami, anak-anak yang shaleh dan shalehah yang taat kepada perintah-Mu dan menjauhi larangan-Mu. Amiin.”
            “Iya Ayah…,Melati mengerti.”
            "Ayah…, Ayah…, kata Ibu Guru, di surga itu ada Bidadari ya?"
            "Iya, benar."
            "Apa Bidadari itu cantik, Ayah?"
            "Sangat cantik. Bahkan kecantikannya tiada tara."
            "Ayah…, apakah Melati kalau sudah besar nanti akan secantik bidadari?"
            Aku pun tersenyum. “Iya, kalau kamu besar nanti akan secantik bidadari. Karena kamu bagi Ayah dan Ibu, adalah bidadari yang menghiasi rumah ini.” Melati pun tersenyum. Terlihat gigi-giginya yang masih belum rapih.
            “Tapi Melati, kecantikan wajah itu tidaklah penting, yang terpenting adalah kecantikan hati, disini…, dihati.” Kataku menambahkan sambil menunjuk ke dadanya.
            “Iya, Ayah.”
            “Sudah ya, Ayah keluar dulu. Assalamu’alaikum sayang.”
            “Wa’alaikumsalam warohmatullah wabarrokatuh, Ayah.” kata Melati sambil mencium tangan kananku.
            Aku pun keluar dari dalam kamarnya.
            Memang terkadang di dalam rumah tangga apabila ada salah satu orang tua yang keras dalam mendidik anak – anaknya, maka harus ada orang tua yang bersikap lembut sebagai penyeimbangnya. Sehingga nantinya tidak akan menimbulkan suasana rumah tangga yang memanas, yang berdampak akan adanya tekanan mental yang berlebihan pada anggota keluarga. Kalau bisa, kedua orangtua haruslah bersikap lembut dalam mendidik anak – anaknya supaya tidak menurunkan sifat – sifat kasar dan pemarah pada anak-anaknya nanti.

***
            Di suatu minggu pagi.
            “Ayah, Melati pamit dulu ya. Nanti Melati kasih kabar kalau sudah sampai di rumah nenek lewat handphone Ibu, ya Bu ya…”
            “Iya, iya…,” kata isteriku. “Aku pamit juga ya Mas,” sembari mencium tangan kananku.
            Kami pun sambil berangkulan dan memberi salam.
            “Assalamu’alaikum.” kata isteri dan buah hatiku.
            Di hari minggu ini aku harus tetap bertugas di sebuah RSUD Budhi Asih, kebetulan aku adalah satu – satunya dokter bedah syaraf di Rumah sakit ini. Tak jarang hari minggu dan hari besar lainnya aku selalu berada di Rumah sakit yang berbeda. Aku ikhlaskan pekerjaanku ini untuk menafkahi anak dan isteriku tercinta semata-mata hanya untuk mendapatkan berkah dari Allah. Alhasil, aku bisa dikatakan jarang sekali bertamasya dengan si mungil Melati dan bidadari lembut Sarah, yaitu isteriku. Sarah, isteriku yang juga seorang dokter anak kubatasi untuk berdinas di satu Rumah sakit saja,agar lebih fokus menjaga buah hati kami. Berbeda denganku, setiap hari minggu isteriku dapat berlibur dengan si mungil Melati.
            Semua dokumen penting, jubah putih dokter  telah kupersiapkan tadi malam dan kutaruh di dalam mobil. Dengan bismillah, aku pun berangkat. Baru tiga puluh menit berlalu saat aku masih menikmati kemacetan di jalan raya,telepon gengganmku berbunyi.

            “Selamat pagi, Pak. Apa benar Bapak yang bernama Muhammad Fachri?”
            “Benar, Pak. Ini dari siapa ya?”
            “Kami dari kepolisian Satlantas Bandung, Pak. Kami ingin mengabarkan berita duka untuk Bapak.”
            “Degg!!!” Hatiku tersentak kaget. “Berita duka, Pak? Berita duka apa?
            “Sekarang di jalan tol menuju Bandung sedang terjadi kecelakaan beruntun, Pak. Setelah kami melakukan pemeriksaan terhadap para korban. Teridentifikasi bahwa ada keluarga Bapak ,yaitu isteri dan anak Bapak yang menjadi korban kecelakaan. Sekarang mereka telah dibawa ke Rumah Sakit Mitra Keluarga dan kini berada di ruang gawat darurat. Mungkin hanya itu yang dapat kami kabarkan kepada Bapak.”
            “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Allahu Akbar! Isteri dan anakku dalam keadaan kritis. Kendaraan mereka mengalami kecelakaan. Ya Allah…,masih adakah harapan untuk mereka?” kataku membatin. Cepat aku membanting setir untuk mencari jalan pintas menuju ke Rumah Sakit Mitra Keluarga. Tak kuhiraukan lagi semua rambu – rambu lalu lintas. Kunyalakan lampu depan mobil yang menandakan aku dalam keadaan terdesak waktu.
            Sesampainya di Rumah Sakit Mitra Keluarga. Setelah kutanya lewat bagian informasi dimana pasien yang baru datang dengan akibat kecelakaan di jalan tol dengan nama isteri dan anakku. Mereka menuju ke UGD. Kularikan diriku dengan cepat untuk sampai disana. Setelah kubuka pintu ittu, ramai sekali para dokter yang menangani korban. Kulihat dr. Rachman didepan pasien yang mengalami patah tulang. Kusapa dia, dia langsung tersentak kaget melihat isteri dan anakku menjadi salah satu korban kecelakaan beruntun itu. Dengan cepat dr.Rachman sahabatku ini langsung menangani isteri dan anakku. Aku pun seorang dokter, akan tetapi apa dayaku untuk menolong isteri dan anakku, tak kuasa aku melihat kedua bidadariku ini merasakan sakit yang amat sangat. Aku pun hanya menunggu di ruang tunggu bagai orang yang tak mengerti masalah medis sama sekali. Beberapa perawat mengambilkan air minum untuk menenangkanku. Dan aku segera menelpon keluargaku di Bandung. 
            Tiba-tiba terdengar suara dokter Rachman.
            “Dokter Fachri…”
            “Ya dokter Rachman.”
            “Mari ikuti saya kedalam.” Ujar dokter Rachman dingin padaku sambil memapah bahuku agar kuat berjalan.
            Dibawanya aku ke ruang konsultasi dokter. Kemudian aku segera menanyakan keadaan anak dan isteriku pada sahabatku ini,dokter Rachman.
            “Dokter Rachman, bagaimana keadaan anak dan isteriku?” kataku pelan.
            “Hmmmm…” Dokter Rachman menarik dan menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Ia terlihat sangat hati-hati menatap ke arahku. Dokter Rachman adalah salah satu sahabat terbaikku. Ia adalah dokter spesialis penyakit dalam.
            “Dokter Fachri, maafkan kami. Kami tidak dapat menolong Ibu Sarah, sedangkan Melati sekarang dalam keadaan kritis. Kondisinya sekarang koma, banyak bagian tubuhnya yang remuk dan patah. Untuk saat ini, saya belum bisa berbuat apa-apa, hanya menunggu pertimbangan selanjutnya dari Melati. Sebagai sahabat sekaligus dokter yang profesional, saya sudah bersikeras berusaha menolong anak dan isterimu.” jelas dokter Rachman padaku.
            “Ya Allah…, Allahu Akbar! Innalillahi wa inna Ilaihi roji’un. Telah Engkau ambil isteriku tercinta dari sisiku, dan kini anakku dalamm keadaan kritis. Tidak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi. Tubuhku merasa lemas semua. Keringat dingi bercucuran bak air mata. Mataku sedikit berkunang-kunang. Tetapi aku masih sadar. Dengan jalan yang bergontai, ditemani sahabatku dokter Rachman, aku menuju ke ruang jenazah. Pikiranku sedikit mengambang. Tetapi aku berusaha untuk terus sadar. Aku seorang dokter spesialis syaraf, tetapi aku tak bisa menyembuhkan isteriku. Hatiku menjerit dan berkobar.  
            Sesampainya di kamar jenazah. Kulihat jasad-jasad kaku terbujur di tempat tidur ditutupi kain berwarna putih.suara tangisan dari keluarga yang lain seperti seakan membelah bumi. Pas dipojok dindng, kulihat wajah yang tak asing lagi. Wajah yang dulu penuh cinta padaku. Wajah yang dulu selalu tersenyum kepadaku. Wajah yang dulu penuh sabar mendampingiku disaat susah. Wajah yang dulu pernah bersamaku, berjanji menjalin ikatan suci di pelaminan. Wajah itu,wajah isteriku. Kudatangi perlahan jasadnya. Kupandangi wajahnya. “Ooohhhh…, aku tak sanggup. Hatiku menjerit. Tangisanku meledak. Tetapi kalau saja aku tidak ingat akan kebesaran Tuhan, aku pasti sudah bergabung dengan orang-orang yang meratapi kepergian keluarganya itu. Aku berusaha tersenyum melihat wajah isteriku. Kusapa ia dengan salam.kuucapkan do’a untuknya supaya ia mendapatkan ampunan dari Allah SWT dan tempat yang baik bersama dengan orang-orang mu’min lainnya. Setelah itu kukecup keningnya. Kututupi wajahnya dengan kain putih. Dokter Rachman yang selalu mengawasiku dari samping ikut bercucuran air mata. Aku tahu ia pun merasakan duka yang kurasakan.
            Kembali aku menjuju ke ruangan gawat darurat untuk menengok bidadari mungilku, Melati. Datang serombongan keluargaku dan keluarga isteriku. Mereka memlukku satu persatu. Mencium pipi dan keningku dan berusaha menghiburku.
            “Melati sayang, ini Ayah Nak. Melati sayang, maafkan Ayahmu ini…, maafkan Ayah.” Kataku lirih dan tidak dapat meneruskan kata-kata.
            Yang kubisa hanya membelai rambut kepalanya yang sudah dicukur botak karena ada jahitan dokter Racman di kepalanya.
***

                Waktu menunjukkan pukul satu siang.
            “Ayaaaaah…”suara Melati pelan.
            Kami yang sudah duduk di kursi langsung berhamburan menghampiri Melati.
            “Iya sayang. Ayah tahu. Sabar ya Nak, Insya Allah, Allah akan menyembuhkanmu.
            “Ayaahhh… sakit.”
            “Ayahhhh… Ibu mana?”
            “Ayahhhh… Bidadari itu datang. Bidadari cantik itu datang.”
            “Ayahhhh…, bidadari itu melihat ke arahku, Ayah.”
            “Ayahhhh…, bidadari itu cantik sekali.”
            Aku dan keluargaku bingung tak bisa melihat apa-apa. “Ya Allah…, apakah ini yang dinamakan ajal dengan malaikat mautnya yang akan menjemput anakku?”
            “Ayahhhh…., bidadarinya mau mengajak Melati untuk jalan-jalan ke syurga.”
            Perlahan…., Melati mengucapkan kalimat “Allahu Akbar” dan sedikit demi sedikit menutup matanya. Kulit tubuhnya berangsur-angsur memucat, dingin. Sebuah senyuman manis terukir di bibirnya. Wajahnya ceria. Ia telah puas bertemu dengan bidadari yang sangat cantik dan diimpikannya untuk bertemu.
            Semua keluargaku menangis.
            Sore itu, langsung diadakan penyelenggaraan jenazah. Kedua bidadariku dimakamkan di sebidang tanah. Saat itu, suasana begitu teduh. Pepohonan yang rimbun menambah kesejukkan di sekitarnya. Harumnya bunga melati menusuk hidung mewangikan sekitarnya. Aku memandang ke arah sebidang tanah disamping makam anak dan isteriku. Disanalah aku akan berpulang kelak.

sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar