Senin, 11 April 2011

Bukan Pujangga

“Aku bukan pujangga!” teriakku sambil mengepalkan tangan dan memukul meja belajarku sekuatnya. Entah mengapa aku menjadi sangat marah membaca syair-syair yang kubuat beberapa detik lalu. Aku merasa syair ini tidak layak lomba. Sedangkan aku harus fokus dengan lomba bahasa nanti. Tapi apa bisa aku mengalahkan gadis pujangga itu?

Ramona, nama itu selalu terbesit dibenakku. Aku harus bisa menggeser Ramona dalam membuat syair terbaik tahun ini pada bulan bahasa disekolah. Aku harus mencetak predikat siswa bahasa. Sungguh tidak adil bila Ramona kembali yang menyandang gelar “Siswa Bahasa” lagi. Dan tentunya itu sangat memalukan harga diriku sebagai ketua ekstrakurikuler Bahasa disekolah.

Waktu menunjukkan pukul 05:00 pagi, aku bergegas mandi dan pergi ke sekolah dengan ninja ku. Pagi ini aku harus menemui Ramona. Akan kubuktikan padanya kalau dia tak lebih hebat dariku. Aku berlari menyongsong lorong sekolah dengan tergopoh – gopoh, hatiku kuatir jika gadis pujangga itu sampai ruang ekstrakurikuler bahasa lebih awal.

Upstt, aku salah. Kulihat gadis berambut panjang hitam lurus dengan bandana merah muda yang tak pernah lepas dari kepalanya, ia tampak membetulkan kacamatanya yang mulai terlihat turun dari hidung. Wajahnya tampak manis dan menggodaku sesaat.           Tapi logikaku muncul seketika. Dia adalah sainganku. Gadis pujangga ini sudah dua kali mendapat predikat siswa bahasa berkat syair – syairnya yang indah yang terdengar hingga lorong sekolah. Siapa yang tak mengenal Ramona. Sang pujangga yang eksotik dengan karyanya. Ini adalah bukti kuat bagiku untuk membalas dendam padanya. Sebagai ketua ekstrakurikuler Bahasa Jepang, belum pernah satu kalipun aku memenangkan lomba bahasa disekolah ini. Semua hanya Ramona yang mencetak predikat pujangga terbaik. Miris hatiku melihat kenyataan pahit ini.

“Selamat pagi Sultan.” sapa Ramona padaku dengan lembut.

“Pagi Mona. Cepat sekali kau datang kesini? Dari mana kau dapat kunci ruang bahasa ini?” tanyaku sengit pada Ramona.

“Mudah saja, Pak Tohir yg memberikannya padaku.”

“Apa? Berani sekali Pak Tohir!” ucapku terkesima.

“Tidak perlu kau salahkan dia. Aku sengaja memintanya.” jawab Ramona santai.

“Hey. Apa hakmu disini? Kau bukan anggota Bahasa! Bukan ketua juga! Aku mulai panas. Tubuhku menjadi gerah melihat gelagat gadis ini yang sok mengambil alih. Nafasku masih terengah – engah karena berlari dilorong tadi

“Sultan, minum ini dulu.” Ramona mengambilkan segelas air putih hangat dan menyodorkannya padaku.

“Terimakasih Mona.” kataku. Aku segera meneguk air itu hingga habis.

“Mau lagi?”

“Tidak, terimakasih, sudah cukup.”

Aku memandang kearah Ramona yang sedang merapikan kertas – kertas yang berserakan bercampur dengan origami dan kapur tulis. Dia memang  gadis yang manis dan baik. Tapi aku sangat iri padanya. Kenapa anak feminin ini selalu saja bisa mengalahkan lomba bahasa disetiap kesempatan, entah disekolah maupun di tingkat Pendidikan Tinggi (Dikti). Pertanyaan ini selalu bergelut dipikiranku.

Beberapa menit kemudian aku mendengar suara sepatu menuju ruangan kami.

“Brengsek! Sedang apa kau disini? Ramona milikku!” Teriak Anton sengit.

Ramona yang sedang memegang gelas bekasku minum langsung terperanjat. Aku tersentak melihat Ramona yang begitu ketakutan. Ingin berusahaa menggapai tangan Mona tapi aku tak kuasa. Si kekar Anton telah menangkis tanganku.

“Argggghhhh. Apa – apaan ini? Kami tidak melakukan apapun. Ramona dan aku hanya berdiskusi.” Kataku cepat karena kuatir dengan Ramona yang begitu ketakutan melihat pacarnya mengamuk.

“Diam kau!” Bentak Anton padakku.

“Hey, aku ketua bahasa, aku berhak berada diruangan ini.” kataku menantang.

Anton sama sekali tidak mendengar penjelasanku. Dia langsung menarik Ramona dengan kasar dan pergi meninggalkan ruang ekstrakurikuler. Aku melihat Ramona yang begitu ketakutan dan tersiksa dengan jepitan tangan kekar Anton yang menjeratnya keluar ruangan.

“Ya Tuhan. Mengapa masih saja ada lelaki biadab didunia ini. Bertindak semena-mena pada wanita.”ucapku lirih.

Aku yang berniat untuk meminta perhitungan pada Ramona atas rasa iriku padanya mengenai predikat siswa bahasa disekolah ini, menjadi luntur seketika. Pikiranku terbagi dua. Antara kekesalanku pada kehebatan Ramona akan syairnya dan kebencianku pada Anton. Tetapi kebencianku pada Anton lebih mendominasi.

***

Ketika berjalan menuju kelas, aku melewati ruang kepala sekolah. Tak sengaja aku mendengar sayup-sayup bahwa untuk tahun ini Bulan Bahasa tidak akan dilaksanakan karena bertepatan dengan bulan Ramadhan. Jadi aparatur sekolah fokus dengan penyelenggaraan pesantren kilat.

Yesss! Kataku dalam hati. Aku tidak perlu repot-repot memikirkan syair yang akan kulombakan nanti. Kini aku hanya akan fokus pada kegiatan belajarku saja disekolah. Sebagai ketua, aku menyampaikan pada seluruh anggota ekstrakurikuler Bahasa bahwa BB (Bulan Bahasa) tidak akan diselenggarakan tahun ini karena bertepatan dengan Ramadhan. Beberapa anggota tampak kegirangan, sedang yang lainnya risau karena tidak bisa mengikuti lomba syair.

Tiba – tiba Ramona datang. Ia menangis dihadapanku dengan berurai air mata. Dengan tatapan mengerti, satu demi satu anggota ekstrakurikuler meninggalkan ruangan bahasa. Kini hanya aku dan Ramona didalam ruangan.

“Sultan. Aku tak sanggup lagi.” ucap Ramona sambil menyapu air matanya.

“Tak sanggup untuk apa Ramona? Ceritakanlah padaku.” tanyaku kuatir.

“Sultan, kau pasti mengerti kejadian tadi siang. Anton memperlakukan aku seperti budaknya saja. Bahkan yang paling tragis, dia menampar dan mengunciku di gudang sekolah karena aku tak mau pergi ke pesta malam bersamanya. Akhirnya aku tak tahan akan semua kebengisannya padaku. Kuputuskan dia.” ucap Ramona padaku tergagap karena ia berbicara sambil menangis.

“Kau putuskan dia? Apa dia setuju?”tanyaku penasaran.

“Dia setuju, tapi setelah itu dia menamparku dan mendorongku ke kebun sekolah, hingga seperti inilah keadaanku.” Ucap Ramona cepat-cepat.

“Ya Tuhaaaaaan. Sabar Ramona, aku akan selalu melindungimu dari Sultan. Yang terpenting kini kau tidak lagi dalam jeratannya. Aku takkan biarkan kau menitikkan air mata lagi di pipimu yang lembut itu.”kataku pada Ramona yang mulai berhenti menangis.

“Terimakasih Sultan, kau sangat membuatku tenang sekarang.”

“Ramona, sebenarnya aku ingin membicarakan sesuatu padamu. Bolehkah?”

“Silakan saja Sultan.”

“Maaf bila kau tersinggung. Tetapi inilah yang mengganjal hatiku. Jujur aku iri padamu Ramona. Selama dua tahun, kau selalu mendapat predikat siswi bahasa disekolah ini. Aku malu. Aku malu akan kebodohanku membuat syair. Aku sadar bahwa aku bukan pujangga. Tetapi jabatanku sebagai ketua bahasa disekolah ini membuatku jatuh harga diri, karena selalu kalah darimu dalam membuat syair. Aku harap kau tidak marah atas kejujuranku ini.” kataku sambil menunduk.

“Kau tahu Sultan, syair yang kubuat dalam mengikuti lomba bahasa disekolah tahun lalu? Aku menuliskan syair itu penuh dengan perasaan yang mendalam, dan aku berusaha untuk terjun kedalam syair itu, agar dapat lebih menghayatinya. Salah satu syair itu kubuat untukmu Sultan.” Ramona menunjukkan selembar perkamen yang bertuliskan:

Aku hanya ingin menulis apa yang kurasa
Aku hanya bisa menangis mengingat semuanya
Aku hanya bisa diam saat sakit
Aku hanya bisa berpura – pura bahagia
Aku hanya bisa tersenyum saat hati menangis
Aku hanya bisa pasrah menerima semua ini
Aku hanya bisa menggores pena atas semua yang kurasakan
Aku hanya bisa berdoa & memohon kepada-Mu Ya Rabb

Kelak kudapatkan cinta dari seorang pemuda yang bukan pujangga

Membaca syair itu hatiku meleleh. Jantungku berdegub kencang layaknya habis berlari satu kilometer. Aku menghela nafas dan memandang kea rah Ramona. Ia menatapku dan menggelengkan kepalanya tanda melarangku untuk berbicara.

“Sultan, sebaiknya kau jangan iri dengan predikatku sebagai siswi bahasa. Prestasi akademikmu jauh lebih meroket dibanding aku. Setiap orang memiliki lebih dan kurang. Mungkin kau dilahirkan bukan sebagai seorang pujangga.” ucap Ramona lirih padaku.

“Kau benar Ramona. Terimakasih karena telah menyadarkanku. Membangunkanku dari mimpiku untuk melejit mengejarmu sebagai pujangga. Aku sadar kalau aku bukan pujangga. Tapi aku bisa menjadi pujangga hatimu.” kataku pada Ramona sambil meraih kedua tangannya.

“Sultan, aku senang melihatmu tersenyum seperti ini.” Ramona menepis lengan Sultan.

Aku dan Ramona tak sadar kalau anggota bahasa sejak tadi belum pergi meninggalkan ruangan, tetapi mereka ada diruang sebelah. Tentu saja mereka mendengar percakapanku dan Ramona. Mereka mendengar kalau aku dan Ramona sudah jadian. Tiba-tiba terdengar suara Anton.

“Baiklah. Aku minta maaf padamu Ramona atas kekasaranku selama menjadi pacarmu. Sultan lah yang terbaik bagimu. Biarkan ia menjadi pujangga hatimu selamanya. Sultan, aku ikhlaskan Ramona sebagai putrid pujangga bagimu.” tegas Anton padaku dan Ramona yang suaranya memecahkan dinding ruang bahasa.

“Aku sudah memaafkanmu Anton. Terimakasih kau telah melepasku kini. Sekarang aku benar-benar menemukan pujangga hatiku. Dia adalah Sultan. Pemuda yang bukan pujangga.” Ucap Ramona bahagia.

Sejak itu, aku dan Ramona menjadi sepasang kekasih yang saling melengkapi. Ramona gadis pujangga yang cantik. Sedangkan aku, siswa berprestasi sekaligus berpredikat “Bukan Pujangga”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar