Kepalaku berat, letih rasanya tubuh ini. Aku harus berjuang untuk menuntut Ilmu di jalan Allah. Ayat- ayat Al-Qur’an kulantunkan tiap jam, menit, bahkan detik. Tak ada sedikitpun kata atau pikiran untuk menentang apa kata Abi. Sedikit demi sedikit aku dapat menghafal 2 juz Al- Qur’an. Abi ingin sekali aku masuk ke Pesantren Al-Iman. Sedangkan ummi hanya melempar senyum tanda setuju atas apa yang telah abi perintahkan padaku.
Dikamarku ada beberapa tumpukan buku hadist mulai dari hadist shahih, Hasan, Dhaif, sampai Maudu’. Buku – buku hadist ini aku dapatkan dari sekolah tsanawiyah dan koleksi hadist milik Abi. Abi adalah seorang alim ulama dikampungku. Sejak kecil aku disekolahkan di ibtidaiyah berlanjut di Tsanawiyah, dan pada akhirnya abi menyuruhku untuk melanjutkan pendidikan di pondok pesantren Al-Iman yang terkenal dengan santri – santrinya yang berhasil menembus kancah dunia.
Kairo, abi sangat menggebu – gebu menyuruhku untuk segera masuk ke Pondok pesantren Al-Iman agar kelak aku nanti seperti abi, menjadi lulusan License di Mesir dan kembali ke tanah air untuk mengajar para santri di Indonesia kemudian mengabdi untuk kepentingan agama, dengan kata lain berjuang di jalan Allah.
Dalam hati kecil aku ingin melanjutkan sekolahku di SMU saja, agar aku berbekal ilmu umum dan ilmu dunia. Meskipun aku tahu di pondok pesantren aku juga akan belajar aljabar dan ilmu sosial, akan tetapi ilmu umum Pondok pesantren tidak akan seluas yang didapatkan di SMU.
“Afan, kau sudah mengepak barangmu belum? Besok pagi kita berangkat ke Al-Iman, jangan sampai kau terlambat Nak, ini kesempatanmu, kau sudah punya latar belakang agama yang baik, akan lebih baik jika pisau otakmu itu diasah disana.” Ucap abi padaku sambil mengalungkan sorban putih favorinya di leher.
“Abi, maafkan anakmu ini, sejujurnya Afan ingin sekali bersekolah di umum bersama dengan teman – teman Afan yang lain. Toh juga nanti Afan bisa melanjutkan studi ke Kairo seperti yang abi mau.” tukasku sambil berusaha memasang mimik meyakinkan abi.
Tak kusangka abi pergi dengan sorban dan tasbeh nya ditangan, pergi meninggalkan aku dengan tanda Tanya besar. Ia langsung menuju suro dekat rumah kami untuk mengajar tadarus anak – anak di kampung kami, Palembang.
“Afan anakku? Ada kamu didalam? Keluarlah dulu, umi ingin bicara padamu Nak.” kata umi dari luar kamarku. Suaranya terdengar sayup.
“Ya Umi, sebentar Afan keluar.” sahutku.
Aku menuju ruang baca tempat umi duduk. Disana umi memegang beberapa perkamen yang berisi tulisan – tulisan arab yang tak terlihat jelas di mataku. Aku menatap mata umi yang sayu dan duduk disampingnya.
“Ya umi, ada apa memanggil Afan?”
“Sudah berapa juz Al- Qur’an kau hafal diluar kepala Nak?” tanya umi padaku.
“Baru 2 juz saja umi, ditambah dengan hafalan surat – surat pendek.” jawabku singkat.
“Afan anakku, umi bahagia sekali kau menuruti kemauan abi untuk melanjutkan studi di pondok pesantren Al-Iman. Baik – baik kau disana ya Nak. Jaga sikap dan dirimu. Tunjukkan pada semua orang bahwa kau adalah anak umi yang baik, yang memegang teguh agama kita. Kelak kau akan menjadi alim ulama yang besar.
“Umi, sudah kupatahkan kini niatku untuk sekolah di SMU. Mungkin ini adalah jawaban dari Allah atas istikharahku selama ini. Aku telah bakar keinginanku itu dan meneguhkan diri untuk berjuang di jalan Allah untuk menuntut ilmu di Al-Iman.”
“Alhamdulillah Afan anakku. Bersigaplah kau nak, siapkan segala yang kau butuhkan.” kata umi sambil memberi Al-Qur’an kecil, yang besarnya hanya 5x10 cm.
“Bacalah dengan keihlasan, maka kau akan tenang nak.”
“Ya umi.”
“Pergilah tidur sekarang, besok pagi kau harus berangkat.”
Aku menjatuhkan diri di tempat tidurku. Aku melawan hatiku yang menggebu untuk sekolah di SMA. Didepan abi dan umi aku tidak sanggup mengucap penolakan satu patah kata pun. Rasanya bibir ini menurut saja, meskipun hati masih setengah menjalaninya.
***
Pukul tiga pagi aku mendirikan shalat tahajud. Lega rasanya mencurahkan isi hati pada yang Maha Kuasa. Kini aku sadar, aku anak sematawayang dari abi dan umi ku. Aku harus membuat mereka bangga.
Kumasukkan beberapa buku hadist, Adz Zikra, dan buku rujukan lainnya untuk kubawa ke Al- Iman. Tasku penuh sesak dengan buku, bukan pakaian atau makanan. Kumasukan juga foto keluarga kami. Didalam gambar itu hanya ada aku, abi dan umi yang sedang tersenyum bahagia menatap kamera foto. Saat itu aku baru lulus dari sekolah ibtidaiyah. Yaitu sekolah islam yang setara dengan SD.
Pukul lima pagi aku keluar kamar. Anehnya tidak ada abi dan umi dirumah. Atau mungkin mereka sudah ke surau. Tapi mengapa umi tidak seperti biasanya membuat pempek kesukaanku untuk kubawa nanti ke Al – Iman. Kutengok kamar abi dan umi, hanya ada kasur dan beberapa buku hadist disamping tempat tidurnya. Waktu terus berjalan, kini sudah pukul 6 pagi. Abi dan umi belum terlihat.
“Assalamualaikum Bang Somad,” kataku sambil terengah – engah karena aku berlari hingga sampai di surau.
“Waalaikumsalam, Afan. Tadi pagi – pagi sekali abang lihat umi dan abi mu pergi ke bukit dengan menggiring beberapa sapi.” jelas Bang Somad.
“Mau abang antar Afan ke bukit? Afan akan berangkat ke Al-Iman pagi ini, tetapi abi dan umi tak ada dirumah. Bisa ya abang antar Afan ke bukit sekarang?” kataku cepat – cepat.
“Abang kira kau ke Al-Iman besok pagi. Yasudah, ayo naik vespa abang.”
Aku dan bang Somad menaiki vespa tua menuju bukit. Udara pagi masih sejuk sekali. Hatiku bertanya – Tanya, untuk apa abi dan umi di pagi buta menggiring sapi ke bukit? Padahal ini pagi aku harus berangkat ke Al-Iman sesuai dengan kemauan abi.
Tiba – tiba diperjalanan menuju bukit pada belokan pertama, aku dan bang Somad melihat kerumunan banyak orang, aku juga melihat beberapa ekor sapi disana. Aku tersentak, makin dekat jarak aku dengan kerumunan itu, makin jelas terlihat kalau itu sapi – sapi milik abi dan umi.
Aku turun dari vespa menuju kerumunan itu. Aku melihat seorang lelaki tua dengan baju kurung putih dan mnggunakan sorban dilehernya tergeletak kaku dengan bercucur darah dibagian kepalanya. Disampingnya terlihat wanita tua dengan baju kurung hijau tua dengan kepala dibalut selendang putih, darah terus mengalir dari hidung dan terdapat luka dibeberapa bagian tubuhnya.
Astaghfirullahaladziiiiiim. “Umiiiiiiiiiiiiii! Abiiiiii!”
“Ya Allah apa yang terjadi dengan abi dan umiku?” teriakku kuat – kuat.
Dengan cepat para warga yang berkerumun membawa abi dan umi kerumah sakit terdekat. Seorang laki – laki berjas putih mengatakan padaku bahwa umi dan abi telah kehabisan darah karena tabrak lari pagi tadi. Sebuah truk pembawa beras menabrak umi dan abi yang sedang menuju bukit tadi pagi untuk menjual sapi – sapinya. Ya Allah, abi dan umi menjual sapi – sapi kami untuk biaya sekolahku di Al-Iman. Sungguh berdosanya diriku Ya Allah. Hatiku menolak mentah – mentah untuk disekolahkan di Al-Iman, sedangkan abi dan umi bersusah payah untuk membiayai aku.
***
Darahku tersedot oleh selang bening panjang yang berujung dikantong darah. Aku mendonorkan darahku banyak – banyak untuk abi dan umiku. Dalam hati aku berdoa agar umi dan abi segera sadar. Selesai mendonor aku masuk untuk melihat keadaan umi dan abi didalam. Ada dua orang suster dan tiga dokter yang memeriksanya.
Abi tergeletak lemah di brankar rumahsakit, terpasang beberapa selang yang tidak kuketahui apa namanya ditubuhnya itu. Nafasnya pendek dan sesekali terdengar bunyi mengik dari hidungnya. Hal yang sama juga terlihat pada umi. Umi tergolek lemah, bahkan lebih lemah dari pada abi. Nafasnya sesak hingga harus dibantu banyak oksigen. Matanya rapat tertutup.
Dokter bilang abi dan umi trauma di kepala karena tabrakan tadi pagi. Aku sangat menyayangkan tidak melihat kejadian tabrak lari tadi, sehingga aku tak tahu siapa pelakunya. Aku menyesal karena 3jam aku menunggu abi dan umi dirumah. Mengapa tidak aku cari abi dan umi keluar. Ini adalah kesalahan terbesarku.
Aku melantunkan bacaan Al-Qur’an ditelinga abi dan umi, akan tetapi abi dan umi masih saja terpejam. Matanya tak mau membuka. Abi dan umi masih belum sadar. Dan aku tidak jadi berangkat ke Al-Iman pagi ini.
Kuperhatikan monitor yang ada disamping tempat tidur abi melambat. Dan umi terlihat sangat sesak bernafas. Kupangil dokter dan suster untuk mengecek keadaan abi dan umi. Aku melihat mereka bekerja dari kejauhan. Sekitar 15 menit mereka bekerja, kemudian lelaki berjubah putih itu berkata padaku dengan lirih.
“Kami tim medis sudah berusaha Nak, maafkan kami, bahkan segala daya dan upaya telah kami kerahkan, kedua orangtuamu telah kembali pada Allah.”
Mendengar ucapan dokter itu aku langsung terperanjat dan masuk kedalam. Kulihat senyuman abi dan umi yang sangat indah, wajahnya bersih dan bercahaya. Akan tetapi aku sadar, kini abi dan umi telah meninggal dunia. Tak kuasa air mata mengalir jatuh di pipi. Memandang kedua orangtuaku yang terbujur kaku di kamar jenazah, adalah hal yang menyakitkan. Aku harus ikhlas. Akhirnya abi dan umi dimakamkan di pemakaman dekat rumah.
Dengan hati yang sangat sakit, aku berangkat ke Al-Iman, mendaftar sebagai santri disana, dan menjalani program selama 4 tahun. Alhamdulillah dengan tekad yang kuat dan dengan kekuatan serta dukungan abi dan umi dulu aku berjuang di jalan Allah, dan aku mendapatkan beasiswa di Kairo. Aku ambil studi di Fakultas Syari'ah wa al-Qonun. Kurang lebih 4 tahun aku mengabdi, aku kembali ke tanah air dengan gelar License.
Alhamdulillah dengan perjuangan yang cukup berat, kehilangan kedua orangtua, dan megabdi di negeri orang dengan biaya yang sangat minim, aku bisa menyelesaikan sekolahku. Kini aku telah mendirikan pondok Al-Banna di kampungku. Aku akan meneruskan perjuangan abi dan umi disini, di tanah kelahiranku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar