Izinkan aku
Untuk menjadi hujan selamanya
Karena aku
Bukanlah gerimis yang terputus
Izinkan aku
Untuk mencintaimu selamanya
Karena cintaku padamu
Tak akan pernah pupus
Mungkin cintaku memang buta
Tetapi mata hatiku terbuka
Syair itu kutulis ketika Rizal pergi meninggalkanku dalam waktu yang tak bisa ditentukan. Cinta itu buta. Sehingga mengubah diriku yang tak percaya cinta sejati karena tuntutan optimisku sebagai dokter, menjadi pemuja cinta. Cintaku pada Rizal bukan cinta biasa. Aku yang berasal dari keturunan keluarga dokter yang cukup ternama di kota Jakarta, kini mencintai seorang pelayan café didaerah Kemang, Jakarta Selatan. Cintaku pada Rizal memang buta. Aku sama sekali tidak menilai materi yang ada pada dirinya. Mata hatiku yang meliriknya dengan cinta. Dia adalah lelaki gigih dan penuh semangat yang pernah kutemui.
Selama delapan bulan aku menjalani hubungan yang berbeda kasta sangatlah sulit. Belum lagi jika rekananku yang sesama dokter mengetahui hal ini. Juga tuntutan dari keluargaku yang super perfeksionis. Ini sugguh membuatku gila. Baru kali ini aku jatuh cinta. Dan aku bisa merasakan kenyamanan ketika dekat dengan Rizal.
“Dek Mayang, aku harap kita akan bertemu suatu saat nanti.” ucap Rizal sebelum meninggalkan kota Jakarta. Karena ia akan pergi ke Mesir untuk melanjutkan studinya.
“Sungguh berat aku melepas kepergianmu Mas.” sambungku seraya menitikkan air mata.
“Ini takkan berlangsung lama Dek, aku akan kembali ke Jakarta untuk melamarmu”. ungkapnya lagi menenangkanku.
Orangtuaku sama sekali tidak percaya kalau Rizal pergi ke Mesir untuk melanjutkan studi. Mereka hanya akan percaya bila Rizal pergi sebagai TKI untuk menjadi budak.
***
Aku mengantar Rizal hingga bandara Soekarno Hatta. Tatapan matanya sungguh meyakinkan aku bahwa ia akan segera kembali. Ya, dia akan kembali untuk melamarku. Matanya berbinar. Aku tak kuasa menahan diri untuk menangis. Tapi akhirnya ia pun melangkah menjauh dariku dengan menebar senyum perpisahan untukku. Dengan membawa kopor yang tak terlalu besar, ia pun menuju ke pesawat yang akan dinaikinya. Aku menghibur diriku sendiri. Aku harus cepat menyelesaikan stase ku saat coas[1]. Rizal akan membuktikan pada orangtuaku kalau dia bukan seperti yang mereka kira.
Hari demi hari kulewati dengan hati yang miris. Ejekan mamaku yang sengaja membuatku jengkel hamper setiap hari kutelan dengan ikhlas. Rizal selalu terbayang dibenakku. Saat praktikum laboratorium, sampai pada jam-jam aku membawakan narasi pendek mengenai bedah minor di ruang coas. Beberapa mata menatapku keheranan. Salah seorang sahabatku Meita memegang bahuku dan memberikan tisu ketika aku menangis.
“Sabar Mayang, aku paham isi hatimu, kita lanjutkan saja narasi ini nanti ya kalau kamu sudah tenang.” ungkap Meita padaku.
“Thanks ya Mei.” jawabku singkat.
Meita adalah satu – satunya orang yang mendukung hubunganku dengan Rizal. Karena kali pertama aku bertemu Rizal ketika aku dan Meita makan siang disebuah café di Kemang. Selain itu dia juga sahabat terbaikku sejak semester pertama.
Diruang coas ramai sekali. Kebanyakan dari temanku mengerjakan laporan bedah minor. Bedah minor adalah mata kuliah favoritku. Spesialis bedah syaraf adalah tujuan perjalananku setelah mencapai gelar dokter umum. Sedangkan sahabatku Meita, dia ingin menjadi dokter kandungan.
Waktu menunjukkan pukul 22:00 wib. Ini menandakan aku harus menyelesaikan waktu dinasku. Aku, Meita dan dokter muda lainnya bergegas meninggalkan ruang coas. Kami akan pulang.
“Mayang, jaga kesehatanmu ya, jujur aku kuatir.” kata Meita padaku dengan wajah lesunya.
“Oke Mei, kuharap besok kita bisa datang lebih awal ya, dokter Rudi yang akan membimbing kita, kau tahu kan beliau sangat disiplin. Aku janji, sampai besok aku baik – baik saja.” jawabku meyakinkan Meita.
Sesampainya dirumah, kupikir semua sudah tertidur, ternyata aku salah. Mamaku masih terjaga dimeja kerjanya. Matanya yang besar berkacamata memandangku dengan tajam. Sedangkan jemarinya masih saja memijit tombol laptop. Tanpa ragu, kusapa mamaku.
“Ma, belum tidur?”
“Mama menunggu kamu sayang.”
“Papa belum pulang ya Ma?”
“Papamu sedang ada operasi katerisasi jantung di Rumah sakit Harapan Kita.”
“Ohh.”
“Bagaimana tadi coas mu?”
“Lancar saja Alhamdulillah.”
“Syukurlah kalau begitu. Bagaimana dengan pelayan kampung itu? Jadi dia merantau sebagai budak di Mesir?”
Aku terdiam. Hatiku menjerit saat mama memanggil Rizal dengan sebutan pelayan kampung. Aku menghela nafas sejenak untuk mencari rasa rileks.
“Rizal jadi…” belum selesai aku menjawab, tetapi mamaku sudah memuntahkan ucapannya lagi.
“Mama sudah tahu, pelayan kampung seperti dia pasti akan dengan senang hati menjadi budak di Mesir dengan iming – iming gaji yang cukup besar.” ucap mamaku sambil membetulkan kacamatanya yang turun dari hidungnya.
“Rizal jadi berangkat ke Mesir, tetapi bukan sebagai budak. Dia melanjutkan studinya mengambil S2 Ilmu Hukum.
“Hahaha, mana mungkin S2, SMA saja tidak lulus. Mayang, buka mata hatimu, banyak dokter yang berhasil dan dapat kamu jadikan suami yang baik kelak seperti papamu, jangan kau pilih budak kampungan seperti Rizal. Pikirkan baik – baik tentang ini.” Ungkap mamaku seraya meninggalkanku diruang kerja sendirian dan langsung menuju kamar tidurnya.
Hatiku sedih bercampur kesal dan marah pada Mamaku. Mengapa ia begitu benci pada Rizal. Aku tak mengerti apa salah Rizal pada mamaku hingga ia membencinya. Hari makin larut, aku tak bisa tidur. Pikiranku melayang setinggi langit. Berfikir tentang coas ku, Papa, Mama, Rizal, dan diriku sendiri.
***
Hari demi hari kulewati, akhirnya masa coas ku pun selesai. Tak lama setelah itu aku resmi denga predikat dokter umum. Mama dan papaku sangat bangga dengan prestasiku yang gemilang. Sungguh aku bersyukur kepada Tuhan karena aku dapat menyelesaikan studiku dengan baik.
Dua tahun kemudian…
Kini usiaku menginjak 24 tahun. Aku belum juga mendengar kabar dari Rizal di Mesir. Entah bagaimana kabarnya dia kini. Segalanya kupasrahkan pada Yang Kuasa. Keinginanku melanjutkan ke S2 makin berapi-api. Kuingin S2 di Mesir menyusul Rizal. Mungkinkah?
Meita sahabatku kini menikah dengan seorang dokter. Dokter Bima namanya. Dia kakak kelasku. Wajah Meita bersinar cerah ketika aku datang ke acara resepsi pernikahannya. Dalam benakku berkata, kapan aku akan bersanding dengan Rizal seperti Meita dan Bima? Aku tak tahu apakah itu mungkin terjadi atau hanya goresan pena dalam pikiranku saja.
Aku kini bekerja di Rumah sakit swasta didaerah Kelapa Gading. Penghasilanku cukup untuk membiayai kebutuhan hidupku. Papaku sebagai seorang ayah yang bijaksana, yang juga seorang dokter, berniat untuk menjodohkanku dengan seorang pengusaha kaya raya. Beliau berkata padaku dari hati ke hati.
“Mayang anakku, kini usiamu menginjak 24 tahun, kau juga sudah bekerja dan menjadi dokter yang sukses. Sudahkah kau memiliki calon sebagai pendamping hidupmu Nak?”
“Papa, aku bersyukur karena punya papa yang bijaksana sepertimu. Tentu papa tahu, Mayang sangat mencintai Rizal, meskipun kini Mayang tak tahu keberadaanya. Meski Rizal berasal dari keluarga yang sangat jauh berbeda dengan kita. Dan Rizal bukan seorang dokter handal seperti yang papa dan mama inginkan. Tapi Mayang yakin, kalau Rizal kini telah berhasil, bahkan lebih kawakan daripada Mayang kini.” tuturku pada Papa meyakinkan.
“Rizal mungkin sudah menikah! Dia menikah dengan budak juga tentunya. Budak akan mendapatkan budak! Turuti saja apa kata Papamu, kelak kau akan bahagia Mayang.
Hatiku teriris. Seperti tersayat-sayat. Tak ada berita dari Rizal semenjak ia pergi ke Mesir. Sedangkan kini aku akan dijodohkan dengan pengusaha yang tak aku kenal sebelumnya.
Tolong aku Tuhan. Tunjukkan keajaiban padaku.
***
Akhirnya sampai juga pada tangga perjodohanku. Papa dan Mamaku membawaku duduk di meja ruang keluarga kami. Aku menunduk. Aku tak ingin melihat kearah lelaki yang akan menjadi suamiku. Aku tak berani. Hanya wajah Rizal yang membayangi pikiranku. Tapi kali ini aku pasrah. Kuikhlaskan segalanya pada orangtuaku. Tak berani berkata apalagi memandang kedepan. Aku hanya menatap kedua tanganku yang saling menggenggam.
“Baiklah, ini putrid kami Mayang. Dia seorang dokter umum. Setelah menikah dengan Rauf, ia akan melanjutkan S2 kedokterannya di Mesir.” ujar Papaku pada keluarga Rauf.
“Putri anda sangat cantik. Ini putera kami Rizal Abdul Rauf. Rauf telah menyelesaikan studi S2 nya di Mesir, dan kini menjadi pengusaha minyak di Kairo sekaligus pengacara di Iskandariyah.” Lanjut kedua orangtua Rauf.
Aku memberanikan diri untuk menatap lelaki itu ketika kudengar nama “Rizal” terucap.
“Ya Tuhan. Rizal? Kamu? Kamu Rauf yang akan menjadi suamiku kelak? Aku terkesima melihat seorang Rizal yang kucinta.
“Iya Mayang. Aku Rizal yang mencintaimu dan kau cintai selama ini.” ungkap Rizal.
“Apa maksudmu Rauf? Siapa kau sebenarnya?” Tanya Mamaku keras.
“Saya Rizal Abdul Rauf, orang yang anak ummi cintai selama ini. Ummi mungkin belum pernah melihat saya sebelumnya, sehingga ummi tak mengenali pribadi saya. Saya hanyalah pelayan café di Kemang, yang pada waktu itu melayani makan siang Mayang.”
Mamaku tersentak kaget sejadinya. Ia sama sekali tidak meyangka bahwa seorang pelayan café dapat sesukses ini, bahkan akan menjadi menantunya. Aku sangat berbahagia sekali. Dihadapanku ada Rizal, ya Rizal orang yang kucinta tanpa kasta. Rizal yang menorehkan cinta buta dihatiku. Rizal yang kutunggu selama 3 tahun ini.
“Rizal, maafkan ummi selama ini. Ummi telah salah sangka padamu. Ummi telah mencapmu sebagai pemuda budak. Sekarang semuanya ummi serahkan pada Mayang”. ucap mamaku yang terlihat sangat menyesal.
“Mam,Pa, Mayang akan menerima perjodohan ini. Mayang sangat bahagia dengan keikhlasan hati menerima Rizal Abdul Rauf sebagai suami Mayang.”
“Alhamdulillah Ya Rabbul Izzati. Insya Allah minggu depan kita adakan acara walimah[2] untuk putra dan putri kita.” ungkap Papaku.
“Allahu Yubarik Fik.” teriak Ayahanda Rizal.
Satu minggu kedepan akhirnya acara walimahan kami pun digelar. Aku resmi mejadi isteri bagi Rizal. Alhamdulillah. Ternyata cinta itu buta. Tetapi mata hati takkan pernah buta.
Sekian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar