Oleh: Fauzan Abu Fir
Kebanyakan orang beranggapan bahwa ikhlas adalah memberikan sesuatu, sedekah, infaq, zakat, dan lain-lain dengan tidak ada rasa keberatan pada hati. Saya nggak mengerti apakah hal ini benar atau salah. Saya cuma ingin membahasnya dari persepsi yang berbeda.
Beberapa minggu yang lalu, kalo tidak salah dua minggu yang lalu, saya menunaikan sholat jum’at di masjid Manarul Ilmi ITS. Saat saya mendengarkan ceramahnya saya menemukan sesuatu yang menarik. Sebuah persepsi yang berbeda dari definisi ikhlas dan ibadah.
Sang Penceramah bercerita tentang persepsi yang baru dari ikhlas. Ikhlas, menurutnya, adalah jika kita menyumbangkan sesuatu, sedangkan hati kita berat untuk melakukannya, namun tetap kita lakukan. Jika kita berinfaq di masjid Rp 1000, mungkin tidak masalah bagi kita, karena toh itu uang yang sedikit. Tapi bagaimana saat kita akan menyumbangkan Rp 100.000 kedalam kotak infaq masjid? Bukankah akan terbesit rasa ‘sayang nih uang gedhe’. Nah saat kita merasa seperti inilah keikhlasan kita benar-benar diuji. Apakah kita akan mengurungkan niat kita, atau akan tetap kita sumbangkan? Dan tantangannya tidak berakhir sampai disitu saja. Setelah uang kita sedekahkan pun, apakah kita akan terus memikirkan amal yang baru saja kita lakukan, atau akan terus kita pikirkan dan kita bayang-bayangkan?
Lalu sang penceramah bercerita tentang ibadah. Tentang hal-hal yang dilarang oleh Alloh kepada hambanya, adalah justru hal-hal yang disenangi manusia. Dan justru perintah-perintahNya adalah yang manusia malas untuk lakukan.
Contoh kongkritnya, adalah larangan untuk makan kekenyangan, padahal kecenderungan manusia adalah untuk makan sekenyang-kenyangnya. Larangan untuk berzina, padahal adalah kecenderungan manusia untuk melakukan sex bebas. Larangan untuk ghibah (ngrasani), padahal adalah kecenderungan wanita untuk melakukannya (hayo... ibu-ibu ngaku... :p)
Dalam hal perintah juga sama, siapa sih yang nggak berat untuk bangun jam 2 pagi, dingin-dingin, wudhu, trus sholat tahajjud? Siapa sih yang nggak berat untuk menyumbangkan seluruh hartanya untuk kepentingan kaum muslimin, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr Rodhiallohu Anhu? Siapa yang sama sekali nggak ada rasa berat dihati untuk sholat lima waktu di masjid (bagi laki-laki)? Siapa yang lebih suka hari-hari saat berpuasa dibandingkan dengan hari-hari berbuka (tidak berpuasa)?
Maka disinilah letak tingkat keimanan dan ketaqwaan kita kepada Alloh. Apakah kita hanya akan mau mengikuti perintah-perintah yang kita suka saja? Sementara perintah yang tidak kita suka kita tinggalkan. Apakah kita hanya akan meninggalkan larangan-larangan yang kita tidak sukai, sementara larangan yang kita sukai tetap kita lakukan?
Termasuk yang manakah kita? Apakah kita akan terus menutup mata dan tetap pada kebiasaan kita? Bukankah saat datang perintah Alloh seharusnya kita mengatakan,”sami’na wa atho’na” (kami dengar, dan kami taat).
Semoga sedikit wacana ini dapat mengisi sebagian kekosongan di hati kita. Jika ada benarnya, maka itu semua datangnya dari Alloh. Dan jika ada yang salah, maka itu datangnya dari iblis dan kebodohan saya. Dan sesungguhnya Alloh adalah Dzat yang Maha Suci dari kesalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar